Sabtu, 25 Februari 2012

Goresan Hati di Sebuah Mesjid

Alabio, 11/02/2012       
       Dikelilingi berbagai list-list untuk menjalani kuliah di sebuah institusi yang menuntut pengabdian di atas tuntutan hati dan pribadi, sejenak diri inisempatkan untuk mencari sebuah mesjid tenang yang di rekomendasikan ayahku agar sempat dikunjungi sebelum ku kembali balik ke Banjarbaru…

                Meskipun tubuh lelah setelah memberikan sosialisasi tentang kampus ke adik-adik kelas.Namun, hatiku bangkit untuk melangkah mendirikan shalat Magrib berjamaah di sebuah mesjid yang namanya dalam bahasa Indonesia berarti “yang terpercaya” nafas hela terhempas dan berganti dengan teduhnya hati mendengar lantunan adzan magrib dari sang marbout, meskipun terasa asing  (*karena menurut informasi marbout yang dulu telah diganti dengan marbout yang baru karena masalah internal) tetapi, tetap nikmat dan sejuk di hati lantunan tersebut (*teringat betapa banyak umat islam yang meremehkan seruan adzan, padahal di sisi lain banyak muallaf yang mendapat hidayah karena mendengar seruan adzan… Naudzubillah…), lantunan adzan pun berhenti tepat ketika sepeda motor Honda kesayangan (*amanah ortu selama kuliah) di parkir. Telah banyak jamaah yang bergegas mengambil air wudhu, seperti biasa tempat wudhu penuh jejal, maklum mesjid ini banyak memiliki jamaah setiap shalat 5 waktu karena mayoritas masyarakat di sekitarnya sangat sadar akan pentingnya mendirikan shalat berjamaah (*banyak tokoh masyarakatnya yang memperjuangkan islam yang berlandaskan Alquran dan Assunnah, berbeda dengan kebanyakan mesjid atau langgar sekarang, hanya saat shalat magrib yang banyak jamaahnya, selebihnya lengang, bahkan saat shalat subuh bisa dihitung jari jamaahnya itupun dari kalangan lansia dan bahkan ada musholla yang terkunci saat shalat Dzuhur dan Ashar!!! Nauzhubillah) mayoritas di antara mereka masih ku kenal, karena memang mereka adalah tetangga di kampung halaman, salah satunya adalah seorang setengah baya yang berjenggot panjang, memakai sarung dan baju koko, serta kopiah khasnya dengan tanda hitam di dahinya (*mohon jangan berstigma negatif) dia menyapa dengan hangat sembari mengucap salam… yaa dialah salah satu ustadz yang sering mengajari banyak hal tentang Al Islam kepada semua jamaah, terutama diriku ketika ku masih duduk di bangku SMA. Tak banyak yang beliau tanyakan kecuali tentang kabar dan dimana kuliah karena beliau ingin sesegera mungkin shalat sunat tahiyatul mesjid…. Hmmm… memang beliau senantiasa berusaha menghidupkan sunnah selain mengerjakan yang wajib di tengah masyarakat yang mulai meninggalkan sunnah Nabi Muhammad saw seperti sekarang ini.
                Ketika memasuki mesjid, ada beberapa perubahan yang terjadi pada interior mesjid, diantaranya penataan tempat wudhu dan pembangunan TPA (Taman Pendidikan Alquran) baru di belakang mesjid… Namun, di antara semuanya yang menjadi perhatian ku adalah ditata ulangnya tempat perpustakaan mesjid, banyak buku baru ditambahkan… perpustakaan inilah yang banyak memberi wawasan kepada diri ini untuk mengenal Islam sesuai dengan Alquran dan Assunnah dan sering kali perpustakaan kecil yang letaknya di pojok ini menemani penulis untuk duduk fokus membaca setumpuk buku pelajaran di mesjid ini ketika menghadapi ujian nasional baik tingkat SMP ataupun SMA dulu (*target mendapat nilai terbaik, Alhamdulillah tercapai..^^),…
                Shalat berjamaah pun didirikan, dan hati ini bertambah tenang karena shaf-shaf lurus dan rapat seperti sunnah Nabi saw (*penulis pernah shalat di beberapa mesjid, ternyata shafnya banyak yang tidak rapat dan tidak lurus) sehingga syeitan mudah merusak shalat kita.Imamnya pun dengan sangat merdu dan khusyu melantunkan surah Alquran…
                Selesai shalat, diri ini pun sambil berwirid merasakan betapa tenang dan syahdunya berada di mesjid yang telah menemani, mendidik, dan menempa pribadi ini dari kecil sampai sekarang,,, tak sengaja mata ini melihat kearah anak kecil (*mungkin usianya masih TK) yang dengan khas anak kecilnya ikut shalat dibelakang ayahnya, ketika ayahnya berdzikir, mulutnya komat-kamit berdzikir, dan ketika ayahnya berdoa, dia juga ikut mengangkat tangan berdoa… terus ku pandangi dia,, banyak gerak lucu yang dia lakukan sembari mengikuti ayahnya shalat sunnat rawatib, dan ketika keluar mesjid seorag wanita berpakaian jubah muslimah, sepertinya ibunya (*nampaknya 1 keluarga berjamaah di mesjid) menghampiri dan menggendong anak itu sambil tersenyum, terakhir pandangan ini melihat anak itu bersama ayah dan ibunya pulang naik sepeda motor…
                Tak terasa air mata haru pun menetes,,, bagaimana tidak, pemandangan seperti itu mengingatkanku  pada ayah dan bunda ketika dulu juga dengan ramah dan rukun membawa ku ke mesjid ini…
                Dulu sebelum semuanya berubah saat musibah (*ironis musibah terjadi hanya karena perbedaan khilafiyah) menimpa keluarga ku, ayah yang kebetulan aktifis mesjid, sering membawa ku yang masih sangat kecil untuk menemani beliau saat beliau adzan di mesjid, (*yang paling mengesankan adalah ketika beliau adzan subuh beliau berkata ini untuk jam weker untuk ku agar tidak telat bangun)… sampai sekarang tak pernah lalai dari shalat subuh berjamaah karena kata-kata ayah itu.. beliau lah yang menyuruhku untuk adzan, walaupun lidah tidak sampai mengeja kata “R” waktu itu…=,=” Ayah mengajari ku membaca Alquran, sehingga pada kelas 1 SD aku sudah masuk juz 1 saat banyak teman-teman ku masih berkutat di buku Iqra jilid 5, Ayah juga sering menjelaskan kepadaku tentang kata-kata aneh bagiku saat itu, sepeti “Bidah, Tahayyul, Khurafat, Ahlussunnah, Kebangkitan Islam, palestina, Israel, pembantaian Bosnia, dll” yang baru sekarang ku pahami arti dari kata-kata itu, setumpuk buku-buku tebal tentang kata-kata itu pun di perintahkan ayah untuk kubaca (*di saat anak-anak lain asyik dengan game, komik, dan permainan lainnya), beliau juga sering mendongene sebelum tidur kisah-kisah perjuangan Nabi saw beserta sahabat (*jadi bukan dongeng Cinderella, timun emas, peterpan, dan khayalan fiksi lainnya) sehingga, sering waktu kecil penulis bermimpi berjuang melawan kafir Quraisyi dalam perang badar…:o, meskipun sebagai ayah sering juga memarahi karena kenakalan waktu kecil, tapi yang jelas beliau senantiasa murah senyum pada siapa saja (*mungkin karena profesi beliau sebagai perawat/mantri) ..
                Dan untuk bunda, beliau lah yang dengan sabar mengajariku banyak hal, kebetulan beliau juga seorang guru mengaji yang tiap sore mengajar di TPA mesjid… sering kali ku ikut mengaji (*meskipun awalnya sering janggal , ketika ibu sendiri mengajar ngaji di hadapan kawan-kawan ku dan bunda dipanggil “ibu” bukan “mama” =,+…), jika ayah adalah aktifis mesjid, maka bunda juga aktifis di bidang kemuslimahan, bahkan bunda pernah dikirim untuk perlombaan sari tilawah tingkat provinsi, dan ketika ayah sering mengajariku tentang hal-hal yang berat, serius, dan terlalu tinggi… maka bunda mengajariku untuk senantiasa hidup sederhana, tenang, dan menerima keadaan, kata-kata yang sering diarahkan pada ku dan membekas sampai sekarang adalah, “nak, kita ini adalah orang dari kelas bawah, jangan melihat ke atas, nanti sakit leher mu… coba terima keadaan dengan hati ikhlas. Yang penting kamu nanti bisa hidup mandiri, mapan, dan menjadi anak sholeh yang senantiasa mendoakan kedua orang tua.”, bunda juga yang sering membela ku saat dimarahi ayah, maklum ayah orangnya sedikit agak serius dan keras pendirian… memang ada perbedaan mencolok dari ayah dan bunda, kalau ayah meskipun murah senyum, tapi agak serius, senantiasa berpikir dan bercita-cita tinggi, keras pendirian, senang menghabiskan waktu membaca buku-buku tebal, dan misterius (*menurutku), sedangkan bunda orangnya penyabar, senantiasa terbuka dan supel, senantiasa berpikir sederhana, tapi untuk tersenyum agak sulit…
                Meskipun berbeda, tapi penulis sungguh merasakan bagaimana ayah dan bunda saling bahu-membahu untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah di rumah tangga, shalat senantiasa berjamaah, sama-sama aktif di mesjid, dan sering menghubungkan antara kehidupan sehari-hari, dengan agama… di rumah tidak ada sedikitpun unsur2 jimat, mantera, dsb.. yang diharamkan islam….
                Namun, ujian pun terjadi ketika perbedaan khilafiyah membesar dan menghempaskan kemesraan dari keluarga kami,,, meskipun sedih menyayat tapi itu menjadi pengalaman dan pelajaran berharga bagiku untuk menjalani masa depan kelak,
Satu nasihat yang ku ingat dari keduanya, ketika aku mulai beranjak remaja, meskipun ujian tengah melanda… keduanya kurang lebih berucap, “Nak, jika suatu saat nanti kamu ingin berumah tangga dan mulai memilih pasangan, maka carilah wanita sholehah yang sederhana, patuh pada suami, dan sama-sama memperjuangkan islam dalam satu gerakan, jangan lihat dari kekayaan, wajah cantik, dan keturunannya, tapi lihatlah dari akhlaknya dan cara dia menerima pemikiran dan keadaanmu, carilah pasangan yang mencintaimu karena akhlakmu bukan karena prestasi dan wajah mu.. jadilah keluarga syuhada di jalan Allah....”

*Aku pun tersadar dari lamunan dan tangis haru, ketika marbout mesjid menyapa ku… anak yang kulihat tapi pun telah menghilang ditelan tikungan bersama ayah dan ibunya…. Ku pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan menuju kota Banjarbaru, tempat ku berkarya dan berjuang selama 3 tahun ke depan… Terima kasih anak kecil, terima kasih telah mengingatkan ku akan nasihat berharga orang tua ku untuk masa depan ku kelak bersama bidadari surga impian ku,,,…..

NB:
Cerita ini, seyogyanya hanyalah sedikit fase yang pernah dilewati penulis… karenanya penulis hingga sekarang mampu memaknai nasihat di atas dengan sangat sendu… perjuangan pun sangat terasa… semoga sahabat2 yang membaca ini pun mampu memaknai semua, semangat berbagi…:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar