Kamis, 02 Februari 2012

Ilmu dan Ikhlas Sepasang sayap bagi Kebenaran



“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

(Q.S. AlBaqarah: 186)

Kebenaran, ya kebenaran… satu kata berimbuhan yang membentuk kata sifat yang bermakna suatu keadaan dari sesuatu (*perasaan terbolak-balik kata-katanya deh…+,+”) dari sebuah kata tunggal sekaligus juga kata sifat yaitu Benar. Benar yang selalu di sandingkan dengan kata lawannya yaitu Salah adalah tidak asing bagi kuping kita, bahkan  menjadi bagian hidup ini. Dalam suatu proses dalam kehiduoan ini kita tidak lepas dari kata yang satu ini... Ketika kita masih kecil dan  menjalani proses menuju sebuah kedewasaan, kita diingatkan tentang benar dan salah yang dituangkan dalam bentuk larangan atau suruhan, sehingga akhirnya membentuk pribadi kita, ketika kita menjawab soal-soal di sekolah, maka benar dan salah yang menentukan nilai kita di raport atau Ijazah (*yaah meskipun diri ini sangat sanksi dengan system pendidikan kita yang orientasinya kepada nilai 8,9,10 atau A, B, C tanpa menilai dari sisi akhlaknya), ketika kita  menetukan suatu pilihan dalam hidup apakah itu dalam hal pekerjaan, pendidikan, jodoh/pasangan hidup, dll. maka Benar dan SAlah menjadi tolak ukur kita, dalam soal beribadah dan beragama pun kita harus bertolak ukur pada nilai-nilai kebenaran, bahkan ujung kehidupan kita nanti (*bagi orang yang beriman) yaitu surga dan neraka adalah hasil dari Benar dan salah yang kita lakukan selama hidup di dunia…
            Sekarang kita masuk ke definisi Benar dan kebenaran itu sendiri dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (*sebenarnya sih penulis mau mendefinisikan dalam konteks agama, tapi berhubung masih jauh ilmunya, jadi ambil kaidah hati-hati aja untuk tidak mendefinisikan ke sana), dalam KBBI, Benar itu bermakna 1 sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah: apa yg dikatakannya itu --; jawabannya -- semua; 2 tidak berat sebelah; adil: keputusan hakim hendaknya --; 3 lurus (hati): orang ini amat --; 4 dapat dipercaya (cocok dng keadaan yg sesungguhnya); tidak bohong: krn diancam akan dibunuh, ia memberikan kesaksian yg tidak --; 5 sah: keputusannya --; 6 sangat; sekali; sungguh: mahal -- buku ini; Sedangkan Kebenaran itu bermakna 1 keadaan (hal dsb) yg cocok dng keadaan (hal) yg sesungguhnya: kita harus berani mempertahankan -; ia masih menyangsikan - berita itu; 2 sesuatu yg sungguh-sungguh (benar-benar) ada: kita harus menyakini - yg diajarkan oleh agama; 3 kelurusan hati; kejujuran: tidak seorang pun menyangsikan - hatinya; 4 kl izin; persetujuan; perkenan: dng - yg dipertuan, kami masuk istana; 5 Jk kebetulan: nah, - dia datang sekarang, kita dapat bertanya langsung kepadanya;
Dari makna KBBI diatas jelas bahwa makna benar ataupun kebenaran itu sendiri mengarah pada suatu hal kebaikan, keadaan yang idel, kejujuran, kelurusan, dan dapat diterima dengan sukarela secara universal, bahkan selaras dengan KBBI, dalam istilah English dictionary pun Benar sepadan dengan kata Right yang bermakna kebaikan dan Hak Asasi (Hak yang paling esensial) atau True dan Kebenaran adalah Truth yang bermakna fakta atau kenyataan… Bahkan dalam Kitab yang paling agung dan suci di dunia ini, Alquran dalam Q.S. Yunus Ayat 32 disebutkan “Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah Kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari Kebenaran)?”
 (*ayat ini penulis dapat ketika ikut ngaji di Halaqah ustadz J)…. Dapat kita simpulkan akhirnya bahwa kebenaran itu tidak lepas dari kebaikan dan berakhir pada keindahan dan kedamaian,…. Tapi benarkah demikian????
            Namun, realita di hadapan kita ternyata tidaklah sesederhana retorika kita dalam secarik kertas, seringkali kita menemui karena kebenaran (*dalam tanda kutip mempertahankan sebuah kebenaran) terjadi perselisihan, perdebatan, dan akhirnya berujung pada permusuhan bahkan pertumpahan darah.Sebuah persahabatan yang telah terjalin lama bisa saja berakhir ketika masing- masing pihak merasa benar akan apa yang mereka lakukan, sebuah rumah tangga yang dulunya harmonis tiba-tiba berantakan dan broken home ketika pasangan itu mulai memiliki nilai kebenarannya masing-masing tanpa mau menerima pendapat pasangannya, dalam ruang kuliah seorang mahasiswa harus remed/semester pendek hanya karena dia memegang nilai kebenaran yang tidak dapat diterima dosen mata kuliahnya, bahkan kalau kita masuk ke ranah agama , tidak jarang kita menemui dua kelompok yang se-akidah dan se-iman (*1 Tuhah, 1 Nabi, 1 kiblat) saling berdebat, saling serang, saling membidahkan, bahkan saling mengkafirkan (*Padahal dalam hadist shahih riwayat Bukhari, muslim yang menuduh muslim lainnya kaifir, maka dia sendiri telah kafir, Naudzubillah!), hanya karena merasa kelompoknya paling Benar dan ada dalam Kebenaran untuk hal yang sebenarnya hanyalah lingkup pembahasan khilafiyah saja, dan masih banyak model kehidupan ini yang merefleksikan bagaimana sebuah Kebenaran dan nilai Benar yang seyogyanya menjadi sumber Kebaikan, tetapi sebaliknya menjadi sumber Permasalahan yang berujung pada Petaka!
Penulis teringat pada kata-kata salah seorang sahabat yang mengajarkan penulis tentang makna sebuah “persahabatan”, dia berkata bahwa seorang sahabat sejati tidak akan mengungkit kebenaran secara prinsipil yang dianut oleh sahabatnya, karena kebenaran itu Relatif…. (*sebelumnya minta maaf banyak ketika tulisan ini menyinggung prinsipil kamu wahai sahabatku, tapi niat ini cuma ingin membuka diskusi hangat kita kembali tentang bagaimana kita memaknai kebenaran dalam lingkup sosial kita, jujur penulis bangga padamu)
Memang tepat ketika kita berpendapat bahwa sebagai sahabat yang baik kita tidak akan mncampuri (*kalau tidak bisa disebut menasihati) mereka dalam urusan prinsipil, oke lah kalau memang itu hanya menyangkut pola mereka berpikir tentang belajar, makan, minum, bekerja, cita-cita, dll yang sifatnya kecil-kecilan,,, tapi bagaimana bila nilai kebenaran itu sudah menyangkut hal-hal yang prinsipilnya pada dasarnya 1 kesatuan dengan kita atau dengan bahasa simpelnya sudah menggesek kebenaran yang kita anut?!, semisal cara sahabat kita memandang bagaimana membuat masakan yang enak, padahal menurut kita masakan itu tidak cocok untuk kita yang sering Hipertensi/tekanan darah tinggi (*alias keASINan), atau ketika kita dalam menyelesaikan suatu tugas yang diberikan dosen dalam satu kelompok, sementara besok harus sudah clear diserahakn pada dosen,,, sementara sahabat kita ngotot  mempertahankan kebenaran menutrut pemikirannya tanpa mau menerima pendapat kita, atau contoh lain misalnya dalam hal keyakinan beragama, anggaplah kita termasuk orang yang taat menjalankan perintah agama sehingga ketika tiba waktu shalat kita langsung pergi ke mesjid untuk berjamaah, sementara sahabat kita tampak dengan enteng mengatakan, “nanti saja, gue masih asyik main CS, kan yang penting kita shalat” dan ketika sahabat kita yang wanita tidak menutup aurat, memakai tank-top, celana yang hanya 3 jari dari blablabla, dan memakai parfum yang wah… dengan jalan yang sangat seksi dan tubuh putihnya (*sudah2 nanti malah ngeres otak) dengan enteng menghina dan menertawakan kita yang menutup aurat, atau ketika kita bertemu dengan sahabat yang justru tidak mempercayai Tuhan dan kekuasaan ciptaanNya,, padahal notabene dia itu memiliki keyakinan dan agama yang sama dengan kita, trus apakah Anda masih beranggapan diam demi persahabatan itu baik??? Padahal kata Rasulullah saw , orang yang diam melihat kemaksiatan di hadapannya adalah tidak ubahnya seperti setan bisu! Dan sebagai muslim kita tentunya sadar bahwa pada hakikatnya kita semua adalah Dai (orang yang berdakwah menyampaikan kebenaran). Minimal kita harus saling Nasihat menasihati dalam kebaikan (*Addinun nasihah=agama itu nasihat) baca Q.S. Al Ashr 1-3 yang dari TK sudah kita baca ketika mau pulang ke rumah…
            Naah, trus gimana neh… katanya sebuah kebenaran itu ujungnya adalah kebaikan, ko malah berujung pada permasalahan dan persengketaan?? Malah jadi rumit ketika sebagai muslim kita dituntut untuk menyampaikan kebenaran walaupun pahit, tapi di sisi lain kita tidak boleh menyinggung kebenaran yang dianut oleh orang lain atas asas Kekeluargaan, Persahabatan, dan Persatuan… Apa yang salah dari semua ini? Apakah Tuhan telah salah menurunkan kebenaran bagi umatnya? Jreeeng…
            Dalam dunia medis (*apakah itu dokter, perawat, bidan, dsb) kita dituntut untuk mendiagnosis penyebab bsuatu penyakit itu sampai ke etiologis/sumber nya jangan hanya simptomatis/gejala superficial saja… Di sini penulis mencoba mengungkap kerumitan suatu kebenaran yang jusrtu menjadi sumber permasalahan bukan sumber kebaikan.. Ternyata penyebab semua ini bukan terletak pada keberadaan kebenaran itu karena fitrah kebenaran adalah kebaikan, tetapi permasalahannya terletak pada individu yang memegang kebenaran itu, orang-orang yang memegang kebenaran di zaman sekarang ternyata cenderung melakukan pembenaran bukan memegang kebenaran… Naah di sini jelas sangat jauh perbedaannya bak Timur dan Barat,, Kebenaran adalah kata sifat yang cenderung baku dan konstan, sedangkan Pembenaran adalah kata kerja yang merupakan proses yang sifatnya sangat subjektif /sangat dipengaruhi kepentingan individunya… Sebagai contoh biasanya orang-orang yang sibuk berdebat dengan sengit (*bakakancangan urat gulu ujar urang Banjar) mereka cenderung melakukan pembenaran atas kebenaran yang mereka pegang (*makanya generasi salafus shalih dulu tidak senang berdebat, apalagi dalam urusan agama, jangan sampai perjuangan dakwah kita ternoda oleh sikap ashabiyah dan fanatisme buta pada golongan sehingga sangat mudah mengkafirkan atau membidahkan pada saudara sendiri), seorang pencuri atau Koruptor melakukan pembenaran atas perbuatannya dengan alasan terpaksa, begitu juga para Kupu-kupu malam dengan mudah menjual murah diri mereka dengan alasan untuk biaya makan, seorang Muslimah tidak menutup aurat/berhijab dengan alasan tidak terbiasa, panas, dsb, para artis porno melakukan aksinya atas nama seni dan HAM, dalam melakukan pembenaran juga wakil rakyat kita di Senayan sana rela mengorbankan rakyatr jelata yang telah memilih mereka dengan membangun fasilitas mewah untuk toilet, ruang rapat, wisma, hotel, dll. yang konon harga 1 kursi mereka hampir 24 juta rupiah (*inilah yang disebut kursi anti-dekubitus,,hohoh), belum lagi mobil dinas yang tiap 6 bulan diganti dengan mobil import seharga total Milyardan rupiah, untuk toilet tempat mebuang hajat sampai 2 Milyard (*gimana setan gak betah, klo tempat yang paling disenanginya sangat mewa bak istana), atau seperti kisah Siti Nurbaya di mana seorang orang tua melakukan pembenaran atas tindakan memaksa anaknya menikah dengan calon yang tidak dicintai anaknya itu (*kok jadi ke kisah Roman sih…=,=’)…..
Nah,, orang-orang diatas cenderung melakukan pembenaran atas apa yang mereka lakukan, jadi sejatinya bukan kebenaran yang mereka pegang, pembenaran/justifikasi tidak jauh beda dengan kata “merasa benar sendiri” sehingga akhirnya justru menodai kesucian makna kebenaran itu sendiri.
            Selanjutnya setelah tahu penyebab secara etiologisnya maka penulis akan mencoba menulis resep obat untuk mengatasi agar jangan sampai suatu kebenaran menjadi pembenaran di tangan kita… di sini penulis mengajukan solusi yaitu dalam memegang suatu kebenaran kita terlebih dahulu harus memiliki Ilmu dan Ikhlas, ya Ilmu dan Ikhlas adalah 2 sayap bagi kebenaran itu sendiri Ilmu itu datangnya dari akal (*karunia terbesar Allah pada manusia) dan ikhlas itu adanya di Qalbu (*sumber kebaikan jasad dan ruhani)… makanya dalam ilmu fikih, syarat diterima amal ibadah itu ada 2 yaitu ikhlas dan sesuai dengan Alquran dan Assunnah (*pastinya kita harus tahu ilmunya)…
            Yang pertama ilmu, kita pasti sudah familiar dengan kata ini dan urgensinya bagi kehidupan kita, sehingga tidak perlu panjang lebar dijelaskan penulis.. di sini penulis cuma ingin membuat korelasi antara ilmu dengan kebenaran, kita pasti ingat dengan idiom ini “tirulah padi, semakin berisi semakin merunduk” artinya semakin berilmu seseorang, maka dia akan semakin tawadhu dan tidak sombong, sehingga dia jauh dari tindakan pembenaran, karena pada hakikatnya kita dalam menuntut ilmu adalah proses dalam mencari kebenaran yang hakiki, dalam langkah ilmiah kita tidak hanya mengajukan Hipotesis, tapi juga harus bereksperimen, dan menganalisis data, kemudian menguji lagi,,, apalagi sampai verani melakukan postulat (*pendapat tanpa bukti)! Inilah mengapa Imam Bukhari menempatkan Bab tentang Ilmu di kitab shahihul Bukhari  ditempatkan di posisi kedua setelah bab tentang iman, karena urgensi ilmu yang begitu kuat.Dalam menyampaikan kebenaran pun Nabi saw telah mengajarkan pada kita bahwa tidak hanya asal menyampaikan, tapi juga harus memiliki ilmu (*harus berdasarkan dalil yang syar’I dan shahih), sehingga terhindar dari sikap emosional yang ujung-ujungnya cepat menvonis saudara sendiri.Nabi saw senantiasa melakukan tarbiyah pada shahabatnya bahkan dari awal berdakwah ketika Nabi saw mengumpulkan para shahabatnya di rumah Arqam bin abil Arqam,…   bagaimana Nabi saw menolak berdoa untuk menurunkan azab bagi bani Thaif yang sudah mempermalukan beliau, padahal jibril sudah memaksa, tetap beliau tidak mau karena beliau menganggap bahwa suatu saat nanti keturunan Bani Thaif akan sukarela memeluk agama Islam (*di sini menunjukkan ketinggian ilmu Nabi saw, di mana beliau tidak serta-merta memvonis orang yang menolak kebenaran dakwah islam), inilah juga rahasia mengapa Imam Ahmad bin Hambal tidak melakukan pemberotakan ketika beliau disiksa cambuk oleh penguasa karena beliau menolak mengakui pendapat kaum Mutazilah, atau ketika Imam Syafii shalat subuh tanpa qunut di belakang Imam lain, padahal Mazhab Syafiiyah menganggap qunut itu rukun shalat, selaras dengan itu bagaimana Buya HAMKA (*tokoh Muhammadiyah) satu kapal dengan K.H. Ideham Chalid (*tokoh NU) ketika tiba shalat subuh, saat Buya Hamka menjadi imam, K.H. Ideham Chalid tidak berqunut, sebaliknya ketika K.H. Ideham Chalid menjadi imam, Buya Hamka pakai qunut sebagai makmum dan masih banyak lagi suri tauladan yang terlalu banyak jika ditulis di catatan ini… pada intinya, semua ini menunjukkan betapa orang-orang yang tinggi ilmunya, mereka senantiasa menghindarkan diri dari perdebatan kosong akan suatu hal yang sifatnya Cuma khilafiyah , bukan akidah, mereka senantiasa bijak dan tenang ketika menyampaikan kebenaran pada orang yang menentang mereka, tidak serta-merta menvonis “bidah apalahi kafir”,,,
Imam mazhab yang 4 (Syafii, hanafi, hambali, dan maliki) selalu melarang pengikutnya untuk fanatik buta atas mazhabnya, dan menyuruh pengikutnya untuk menuntut ilmu di mana pun, perhatikan perkataan Imam Syafii berikut “jika kalian mendapati pendapatku bertentangan dengan Sunnah Nabi saw, maka buang pendapatku itu”, ironis memang ketika pengikutnya sekarang malah terjebak dalam fanatik buta dan menyalahkan pengikut mazhab lain.Imam Bukhari pun rela menghabiskan umurnya untuk menuntut ilmu dan pergi dari satu negeri ke negeri lain menempuh jarak ribuan kilometer dengan jalan kaki hanya demi kebenaran tentang hadist shahih, hasilnya 600.000 hadist terkumpul, begitu juga Imam Muslim dengan 300.000 hadist,(* bandingkan dengan kita sekarang cuma untuk membaca 1 buku agama saja malesnya minta ampun…>,<)
karena ilmu lah banyak ilmuwan barat yang dengan sukarela masuk Islam, seperti Neil Amstrong, bahkan Albert Einsten pun mengakui kekuasaan Allah swt setelah merumuskan teori tentang relativitas, lihat saja bagaimana ketika kita di SMA atau kuliah, orang-orang yang jenius sejati mereka lebih banyak diam dan bersikap tenang (*cool banget) dan menghindari perdebatan, justru orang-orang yang pas-pasan ilmunya lah yang sering cerewet dan sering berdebat tentang hal-hal sepele sekalipun.Intinya orang berilmu tahu cara menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar (kta seorang kakak calon dokter muda spesialis bedah,hehehe).  
            Trus yang kedua adalah Ikhlas, ternyata ilmu saja tidak cukup agar kita terhindar dari sikap pembenaran, betapa banyak orang yang tinggi ilmunya dan faqih justru tidak mau mengakui kebenaran dan senantiasa melakukan pembenaran, permisalan terkenal adalah Abu Jahal yang tahu dan mengakui dakwah Nabi saw itu benar, namun dia tidak Ikhlas untuk mengikuti dakwah Nabi saw, contoh populer lain adalah Hitler yang terkenal jenius dan tinggi ilmunya, tapi karena hatinya tidak ikhlas mengakui kehebatan bangsa lain akhirnya dia dengan kejam membunuh bangsa selain bangsa Arya, dan masih banyak permisalan lain yang merefleksi betapa banyak orang yang berilmu, tetapi tidak disertai dengan hati yang ikhlas mereka menjadi mengingkari kebenaran dan justru memperjuangkan pembenaran.Disebabkan gengsi karena orang yang menyampaikan kebenaran itu dianggapnya lebih muda, lebih miskin, lebih jelek, lebih rendah kedudukannya daripada dirinya sehingga dia menyangsikan kebenaran tersebut, meskipun dia tahu bahwa itu benar.
            Antara ilmu dan ikhlas pada dasarnya adalah berbicara mengenai akal dan qalbu… ketika akal dan qalbu itu seimbang, maka kebenaran pun akan mudah diterima oleh setiap individu,,, itu akan sempurna ketika kita memiliki keimanan sebagai perekat sayap ilmu dan ikhlas.
            Apakah Anda masih menganggap Kebenaran itu relatif (*subjektif)??? Di sini penulis tegaskan bahwa dari awal kita telah mengupas bahwa secara fitrah kebenaran itu bermakna sesuatu yang Absolut dan Konstan serta sifatnya Objektif,.. tetapi mengapa banyak anggapan bahwa kebenaran itu relatif? Jawabannya adalah tidak lain karena kita salah dalam mengambil titik acuan kita dalam memandang kebenaran itu sendiri, mungkin kita masih belum tahu acuannya apa atau bahkan terlalu banyak acuan sehingga membingungkan diri sendiri.
            Sebagai muslim sekaligus orang yang beriman, Allah swt telah memberikan acuan kebenaran dalam hidup kita baik di dunia maupun kelak ketika dibangkitkan dari kematian,, acuan itu tidak lain tidak bukan adalah kitab suci Alquran, kitab suci yang di dalamnya berisi pedoman kita dalam kehidupan, baik itu sifatnya Hablun minallah maupun Hamblun minannaas… di dalamnya sangat jelas bagaimana kehidupan itu seharusnya terjadi, mulai dari hal terkecil seperti cara makan, minum, sampai hal terbesar seperti akidah, sistem pemerintahan, dsb. Selain Alquran, ternyata kita diberi juga pedoman lain yaitu As Sunnah/ Hadist yang berfungsi sebagai penjelas dan penguat Alquran… Sehingga penulis ingat lagi-lagi perkataan salah seorang calon dokter bedah muda, bahwa hidup orang mukmin sejati itu sebetulnya membosankan karena mereka cuma hidup dengan berpedoman apa yang disyariatkan Allah swt dan RasulNya kemudian meninggal dalam keadaan tenang dan akhirnya masuk surga,..  So simple..:) Lalu masih kah kita tidak berislam secara kaffah/menyeluruh, hanya mengamalkan sebagian saja dan mengingkari yang lain karena nafsu???  Shalat sih iya, ngaji iya… tapi ketika disuruh berkerudung menutup aurat ogah…!!!
            Marilah kita simpulkan bahwa sebagai muslim kita wajib menyampaikan dan mempertahankan kebenaran karena kebenaran yang kita pegang adalah berasal dari Alquran dan AsSunnah yang datangnya dari Rabbul alamin, Allah swt… Allah swt mewajibkan setiap muslim menjadi dai, ber-amar maruf nahi munkar… Justru ketika kita diam, kita dianggap Rasul saw sebagai Setan bisu! Namun, dalam menyampaikan kebenaran, hendaknya kita menghindari sikap-sikap yang mengarah pada pembenaran, sehingga dengan mudahnya kita memvonis saudara sendiri sebagai ahli bidah, kafir, dsb, untuk itulah dalam berdakwah diperlukan etika, sopan santun, tahu situasi kondisi, bijak, dan cerdas. Yang semua itu terpenuhi ketika kita memiliki Ilmu dan Ikhlas yang disertai dengan iman dalam menyampaikan dan mempertahankan kebenaran. So, karena menyampaikan Kebenaran itu wajib, maka memperdalam ilmu dan memperbaiki keikhlasan itu juga wajib hukumnya….
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Q.S. Albaqarah: 147)
Di akhir tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa sesungguhnya dalam catatan ini masih sangat banyak unsur-unsur pembenaran, minimal dalam konteks pembenaran atas pendapat pribadi penulis tentang suatu Kebenaran… Sehingga sangat bijak ketika orang-orang yang di tag ataupun tidak dalam catatan in,i tidak hanya sekedar me-like, tapi juga bersedia memberi komentar, pendapat, saran, kritikan, atau apa saja agar tidak terkesan Anda juga melakukan suatu pembenaran atas pembenaran yang penulis lakukan (*paham kan maksudnya?) , marilah kita sama-sama saling menasihati dalam kebenaran dan pastinya dalam kesabaran jauh dari unsur emosional…
NB:
*Untuk kakak ZN, terima kasih telah memberikan inspirasi dan pemikiran pribadi selama ini serta  tentang bagaimana menyikapi kebenaran orang lain di atas kebenaran kita,, bimbinglah selalu adik tingkatmu ini dan dimohon jawabannya atas kegalauan hati tentang konsep “Eksklusif” dan “Inklusif” kemarin, Mari Bergerak.. suatu Frase yang membakar jiwa ini.;)
*Untuk sahabat ku R, terima kasih banyak telah banyak mengajarkan ku tentang makna persahabatan, aku terkesan dengan prinsip itu,“catatan ini ku peruntukkan agar kamu bisa memaknainya dengan diskusi hangat khas diriumu, hehehe”
*Untuk seseorang yang berinisial M, bersabarlah dan bangkitlah dari sikap otoriter ortu mu yang selalu melakukan pembenaran atas tindakan mereka yang menekan hidup dan masa depanmu, semoga tulisan ini mewakili permintaan mu padaku dulu, percayalah suatu saat nanti kamu atupun aku akan bebas menentukan masa depan…
*Dan untuk semua sahabat-sahabat seperjuanganku.., dakwah kita hampir berhasil mencapai kemenangan, tetap istiqomah pada perjuangan kita, janji Allah pasti terbukti..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar