“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.”
(Q.S. AlBaqarah: 186)
Kebenaran, ya kebenaran… satu
kata berimbuhan yang membentuk kata sifat yang bermakna suatu keadaan dari
sesuatu (*perasaan terbolak-balik kata-katanya deh…+,+”) dari sebuah kata
tunggal sekaligus juga kata sifat yaitu Benar. Benar yang selalu di sandingkan
dengan kata lawannya yaitu Salah adalah tidak asing bagi kuping kita,
bahkan menjadi bagian hidup ini. Dalam
suatu proses dalam kehiduoan ini kita tidak lepas dari kata yang satu ini...
Ketika kita masih kecil dan menjalani
proses menuju sebuah kedewasaan, kita diingatkan tentang benar dan salah yang
dituangkan dalam bentuk larangan atau suruhan, sehingga akhirnya membentuk
pribadi kita, ketika kita menjawab soal-soal di sekolah, maka benar dan salah
yang menentukan nilai kita di raport atau Ijazah (*yaah meskipun diri ini sangat
sanksi dengan system pendidikan kita yang orientasinya kepada nilai 8,9,10 atau
A, B, C tanpa menilai dari sisi akhlaknya), ketika kita menetukan suatu pilihan dalam hidup apakah
itu dalam hal pekerjaan, pendidikan, jodoh/pasangan hidup, dll. maka Benar dan
SAlah menjadi tolak ukur kita, dalam soal beribadah dan beragama pun kita harus
bertolak ukur pada nilai-nilai kebenaran, bahkan ujung kehidupan kita nanti
(*bagi orang yang beriman) yaitu surga dan neraka adalah hasil dari Benar dan
salah yang kita lakukan selama hidup di dunia…
Sekarang
kita masuk ke definisi Benar dan kebenaran itu sendiri dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia (*sebenarnya sih penulis mau mendefinisikan dalam konteks agama, tapi
berhubung masih jauh ilmunya, jadi ambil kaidah hati-hati aja untuk tidak
mendefinisikan ke sana), dalam KBBI, Benar
itu bermakna 1 sesuai sebagaimana adanya
(seharusnya); betul; tidak salah: apa yg dikatakannya itu --; jawabannya -- semua; 2 tidak
berat sebelah; adil: keputusan
hakim hendaknya --; 3 lurus
(hati): orang ini amat
--; 4 dapat dipercaya (cocok dng
keadaan yg sesungguhnya); tidak bohong: krn diancam akan dibunuh, ia memberikan kesaksian yg tidak
--; 5 sah: keputusannya --; 6
sangat; sekali; sungguh: mahal
-- buku ini; Sedangkan Kebenaran itu bermakna 1
keadaan (hal dsb) yg cocok dng keadaan (hal) yg sesungguhnya: kita harus berani mempertahankan
-; ia masih menyangsikan - berita itu; 2
sesuatu yg sungguh-sungguh (benar-benar) ada: kita harus menyakini - yg diajarkan oleh agama;
3 kelurusan hati; kejujuran: tidak seorang pun menyangsikan -
hatinya; 4 kl izin; persetujuan;
perkenan: dng - yg
dipertuan, kami masuk istana; 5 Jk kebetulan: nah, - dia datang sekarang, kita
dapat bertanya langsung kepadanya;
Dari makna KBBI diatas
jelas bahwa makna benar ataupun kebenaran itu sendiri mengarah pada suatu hal
kebaikan, keadaan yang idel, kejujuran, kelurusan, dan dapat diterima dengan
sukarela secara universal, bahkan selaras dengan KBBI, dalam istilah English dictionary pun Benar sepadan
dengan kata Right yang bermakna
kebaikan dan Hak Asasi (Hak yang paling esensial) atau True dan Kebenaran
adalah Truth yang bermakna fakta atau
kenyataan… Bahkan dalam Kitab yang paling agung dan suci di dunia ini, Alquran
dalam Q.S. Yunus Ayat 32 disebutkan “Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya;
maka tidak ada sesudah Kebenaran itu, melainkan
kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari Kebenaran)?”
(*ayat ini penulis dapat
ketika ikut ngaji di Halaqah ustadz J)…. Dapat kita simpulkan akhirnya bahwa
kebenaran itu tidak lepas dari kebaikan dan berakhir pada keindahan dan
kedamaian,…. Tapi benarkah demikian????
Namun, realita di hadapan kita
ternyata tidaklah sesederhana retorika kita dalam secarik kertas, seringkali
kita menemui karena kebenaran (*dalam tanda kutip mempertahankan sebuah
kebenaran) terjadi perselisihan, perdebatan, dan akhirnya berujung pada
permusuhan bahkan pertumpahan darah.Sebuah persahabatan yang telah terjalin
lama bisa saja berakhir ketika masing- masing pihak merasa benar akan apa yang
mereka lakukan, sebuah rumah tangga yang dulunya harmonis tiba-tiba berantakan
dan broken home ketika pasangan itu mulai memiliki nilai kebenarannya
masing-masing tanpa mau menerima pendapat pasangannya, dalam ruang kuliah
seorang mahasiswa harus remed/semester pendek hanya karena dia memegang nilai
kebenaran yang tidak dapat diterima dosen mata kuliahnya, bahkan kalau kita masuk
ke ranah agama , tidak jarang kita menemui dua kelompok yang se-akidah dan
se-iman (*1 Tuhah, 1 Nabi, 1 kiblat) saling berdebat, saling serang, saling
membidahkan, bahkan saling mengkafirkan (*Padahal dalam hadist shahih riwayat
Bukhari, muslim yang menuduh muslim lainnya kaifir, maka dia sendiri telah
kafir, Naudzubillah!), hanya karena merasa kelompoknya paling Benar dan ada
dalam Kebenaran untuk hal yang sebenarnya hanyalah lingkup pembahasan
khilafiyah saja, dan masih banyak model kehidupan ini yang merefleksikan
bagaimana sebuah Kebenaran dan nilai Benar yang seyogyanya menjadi sumber
Kebaikan, tetapi sebaliknya menjadi sumber Permasalahan yang berujung pada
Petaka!
Penulis teringat pada kata-kata
salah seorang sahabat yang mengajarkan penulis tentang makna sebuah
“persahabatan”, dia berkata bahwa seorang sahabat sejati tidak akan mengungkit
kebenaran secara prinsipil yang dianut oleh sahabatnya, karena kebenaran itu
Relatif…. (*sebelumnya minta maaf banyak ketika tulisan ini menyinggung prinsipil
kamu wahai sahabatku, tapi niat ini cuma ingin membuka diskusi hangat kita
kembali tentang bagaimana kita memaknai kebenaran dalam lingkup sosial kita,
jujur penulis bangga padamu)
Memang tepat ketika kita
berpendapat bahwa sebagai sahabat yang baik kita tidak akan mncampuri (*kalau
tidak bisa disebut menasihati) mereka dalam urusan prinsipil, oke lah kalau
memang itu hanya menyangkut pola mereka berpikir tentang belajar, makan, minum,
bekerja, cita-cita, dll yang sifatnya kecil-kecilan,,, tapi bagaimana bila
nilai kebenaran itu sudah menyangkut hal-hal yang prinsipilnya pada dasarnya 1
kesatuan dengan kita atau dengan bahasa simpelnya sudah menggesek kebenaran yang kita anut?!, semisal cara sahabat kita
memandang bagaimana membuat masakan yang enak, padahal menurut kita masakan itu
tidak cocok untuk kita yang sering Hipertensi/tekanan
darah tinggi (*alias keASINan), atau ketika kita dalam menyelesaikan suatu
tugas yang diberikan dosen dalam satu kelompok, sementara besok harus sudah clear diserahakn pada dosen,,, sementara
sahabat kita ngotot mempertahankan kebenaran menutrut pemikirannya
tanpa mau menerima pendapat kita, atau contoh lain misalnya dalam hal keyakinan
beragama, anggaplah kita termasuk orang yang taat menjalankan perintah agama
sehingga ketika tiba waktu shalat kita langsung pergi ke mesjid untuk
berjamaah, sementara sahabat kita tampak dengan enteng mengatakan, “nanti saja,
gue masih asyik main CS, kan yang penting kita shalat” dan ketika sahabat kita
yang wanita tidak menutup aurat, memakai tank-top,
celana yang hanya 3 jari dari blablabla,
dan memakai parfum yang wah… dengan jalan yang sangat seksi dan tubuh
putihnya (*sudah2 nanti malah ngeres
otak) dengan enteng menghina dan menertawakan kita yang menutup aurat, atau
ketika kita bertemu dengan sahabat yang justru tidak mempercayai Tuhan dan
kekuasaan ciptaanNya,, padahal notabene dia itu memiliki keyakinan dan agama
yang sama dengan kita, trus apakah Anda masih beranggapan diam demi
persahabatan itu baik??? Padahal kata Rasulullah saw , orang yang diam melihat
kemaksiatan di hadapannya adalah tidak ubahnya seperti setan bisu! Dan sebagai muslim kita tentunya sadar bahwa pada
hakikatnya kita semua adalah Dai (orang yang berdakwah menyampaikan kebenaran).
Minimal kita harus saling Nasihat menasihati dalam kebaikan (*Addinun nasihah=agama itu nasihat) baca
Q.S. Al Ashr 1-3 yang dari TK sudah kita baca ketika mau pulang ke rumah…
Naah, trus gimana neh… katanya
sebuah kebenaran itu ujungnya adalah kebaikan, ko malah berujung pada
permasalahan dan persengketaan?? Malah jadi rumit ketika sebagai muslim kita
dituntut untuk menyampaikan kebenaran walaupun pahit, tapi di sisi lain kita
tidak boleh menyinggung kebenaran yang dianut oleh orang lain atas asas
Kekeluargaan, Persahabatan, dan Persatuan… Apa yang salah dari semua ini?
Apakah Tuhan telah salah menurunkan kebenaran bagi umatnya? Jreeeng…
Dalam dunia medis (*apakah itu
dokter, perawat, bidan, dsb) kita dituntut untuk mendiagnosis penyebab bsuatu
penyakit itu sampai ke etiologis/sumber
nya jangan hanya simptomatis/gejala superficial
saja… Di sini penulis mencoba mengungkap kerumitan suatu kebenaran yang jusrtu
menjadi sumber permasalahan bukan sumber kebaikan.. Ternyata penyebab semua ini
bukan terletak pada keberadaan kebenaran itu karena fitrah kebenaran adalah
kebaikan, tetapi permasalahannya terletak pada individu yang memegang kebenaran
itu, orang-orang yang memegang kebenaran di zaman sekarang ternyata cenderung
melakukan pembenaran bukan memegang kebenaran… Naah di sini jelas sangat
jauh perbedaannya bak Timur dan Barat,, Kebenaran
adalah kata sifat yang cenderung baku dan konstan, sedangkan Pembenaran adalah kata kerja yang
merupakan proses yang sifatnya sangat subjektif /sangat dipengaruhi kepentingan individunya… Sebagai contoh
biasanya orang-orang yang sibuk berdebat dengan sengit (*bakakancangan urat gulu ujar urang Banjar) mereka cenderung
melakukan pembenaran atas kebenaran yang mereka pegang (*makanya generasi
salafus shalih dulu tidak senang berdebat, apalagi dalam urusan agama, jangan
sampai perjuangan dakwah kita ternoda oleh sikap ashabiyah dan fanatisme buta
pada golongan sehingga sangat mudah mengkafirkan atau membidahkan pada saudara
sendiri), seorang pencuri atau Koruptor melakukan pembenaran atas perbuatannya
dengan alasan terpaksa, begitu juga para Kupu-kupu malam dengan mudah menjual
murah diri mereka dengan alasan untuk biaya makan, seorang Muslimah tidak
menutup aurat/berhijab dengan alasan tidak terbiasa, panas, dsb, para artis
porno melakukan aksinya atas nama seni dan HAM, dalam melakukan pembenaran juga
wakil rakyat kita di Senayan sana rela mengorbankan rakyatr jelata yang telah
memilih mereka dengan membangun fasilitas mewah untuk toilet, ruang rapat,
wisma, hotel, dll. yang konon harga 1 kursi mereka hampir 24 juta rupiah
(*inilah yang disebut kursi anti-dekubitus,,hohoh), belum lagi mobil dinas yang
tiap 6 bulan diganti dengan mobil import seharga total Milyardan rupiah, untuk
toilet tempat mebuang hajat sampai 2 Milyard (*gimana setan gak betah, klo
tempat yang paling disenanginya sangat mewa bak istana), atau seperti kisah
Siti Nurbaya di mana seorang orang tua melakukan pembenaran atas tindakan
memaksa anaknya menikah dengan calon yang tidak dicintai anaknya itu (*kok jadi
ke kisah Roman sih…=,=’)…..
Nah,, orang-orang diatas
cenderung melakukan pembenaran atas
apa yang mereka lakukan, jadi sejatinya bukan kebenaran yang mereka pegang, pembenaran/justifikasi
tidak jauh beda dengan kata “merasa benar sendiri” sehingga akhirnya justru
menodai kesucian makna kebenaran itu sendiri.
Selanjutnya setelah tahu penyebab
secara etiologisnya maka penulis akan mencoba menulis resep obat untuk
mengatasi agar jangan sampai suatu kebenaran
menjadi pembenaran di tangan kita…
di sini penulis mengajukan solusi yaitu dalam memegang suatu kebenaran kita terlebih dahulu harus
memiliki Ilmu dan Ikhlas, ya Ilmu dan Ikhlas adalah 2
sayap bagi kebenaran itu sendiri Ilmu itu datangnya dari akal (*karunia
terbesar Allah pada manusia) dan ikhlas itu adanya di Qalbu (*sumber kebaikan
jasad dan ruhani)… makanya dalam ilmu fikih, syarat diterima amal ibadah itu
ada 2 yaitu ikhlas dan sesuai dengan Alquran dan Assunnah (*pastinya kita harus
tahu ilmunya)…
Yang pertama ilmu, kita pasti sudah familiar dengan kata ini dan urgensinya bagi
kehidupan kita, sehingga tidak perlu panjang lebar dijelaskan penulis.. di sini
penulis cuma ingin membuat korelasi antara ilmu dengan kebenaran, kita pasti
ingat dengan idiom ini “tirulah padi, semakin berisi semakin merunduk” artinya
semakin berilmu seseorang, maka dia akan semakin tawadhu dan tidak sombong,
sehingga dia jauh dari tindakan pembenaran,
karena pada hakikatnya kita dalam menuntut ilmu adalah proses dalam mencari
kebenaran yang hakiki, dalam langkah ilmiah kita tidak hanya mengajukan
Hipotesis, tapi juga harus bereksperimen, dan menganalisis data, kemudian
menguji lagi,,, apalagi sampai verani melakukan postulat (*pendapat tanpa
bukti)! Inilah mengapa Imam Bukhari menempatkan Bab tentang Ilmu di kitab
shahihul Bukhari ditempatkan di posisi
kedua setelah bab tentang iman, karena urgensi ilmu yang begitu kuat.Dalam
menyampaikan kebenaran pun Nabi saw telah mengajarkan pada kita bahwa tidak
hanya asal menyampaikan, tapi juga harus memiliki ilmu (*harus berdasarkan
dalil yang syar’I dan shahih), sehingga terhindar dari sikap emosional yang
ujung-ujungnya cepat menvonis saudara sendiri.Nabi saw senantiasa melakukan
tarbiyah pada shahabatnya bahkan dari awal berdakwah ketika Nabi saw
mengumpulkan para shahabatnya di rumah Arqam bin abil Arqam,… bagaimana
Nabi saw menolak berdoa untuk menurunkan azab bagi bani Thaif yang sudah
mempermalukan beliau, padahal jibril sudah memaksa, tetap beliau tidak mau
karena beliau menganggap bahwa suatu saat nanti keturunan Bani Thaif akan
sukarela memeluk agama Islam (*di sini menunjukkan ketinggian ilmu Nabi saw, di
mana beliau tidak serta-merta memvonis orang yang menolak kebenaran dakwah islam), inilah juga rahasia mengapa Imam Ahmad bin
Hambal tidak melakukan pemberotakan ketika beliau disiksa cambuk oleh penguasa
karena beliau menolak mengakui pendapat kaum Mutazilah, atau ketika Imam Syafii
shalat subuh tanpa qunut di belakang Imam lain, padahal Mazhab Syafiiyah menganggap
qunut itu rukun shalat, selaras dengan itu bagaimana Buya HAMKA (*tokoh
Muhammadiyah) satu kapal dengan K.H. Ideham Chalid (*tokoh NU) ketika tiba
shalat subuh, saat Buya Hamka menjadi imam, K.H. Ideham Chalid tidak berqunut,
sebaliknya ketika K.H. Ideham Chalid menjadi imam, Buya Hamka pakai qunut
sebagai makmum dan masih banyak lagi suri tauladan yang terlalu banyak jika
ditulis di catatan ini… pada intinya, semua ini menunjukkan betapa orang-orang
yang tinggi ilmunya, mereka senantiasa menghindarkan diri dari perdebatan
kosong akan suatu hal yang sifatnya Cuma khilafiyah , bukan akidah, mereka
senantiasa bijak dan tenang ketika menyampaikan kebenaran pada orang yang
menentang mereka, tidak serta-merta menvonis “bidah apalahi kafir”,,,
Imam mazhab yang 4 (Syafii,
hanafi, hambali, dan maliki) selalu melarang pengikutnya untuk fanatik buta
atas mazhabnya, dan menyuruh pengikutnya untuk menuntut ilmu di mana pun,
perhatikan perkataan Imam Syafii berikut “jika kalian mendapati pendapatku
bertentangan dengan Sunnah Nabi saw, maka buang pendapatku itu”, ironis memang
ketika pengikutnya sekarang malah terjebak dalam fanatik buta dan menyalahkan
pengikut mazhab lain.Imam Bukhari pun rela menghabiskan umurnya untuk menuntut
ilmu dan pergi dari satu negeri ke negeri lain menempuh jarak ribuan kilometer
dengan jalan kaki hanya demi kebenaran tentang hadist shahih, hasilnya 600.000
hadist terkumpul, begitu juga Imam Muslim dengan 300.000 hadist,(* bandingkan
dengan kita sekarang cuma untuk membaca 1 buku agama saja malesnya minta
ampun…>,<)
karena ilmu lah banyak ilmuwan
barat yang dengan sukarela masuk Islam, seperti Neil Amstrong, bahkan Albert
Einsten pun mengakui kekuasaan Allah swt setelah merumuskan teori tentang relativitas,
lihat saja bagaimana ketika kita di SMA atau kuliah, orang-orang yang jenius
sejati mereka lebih banyak diam dan bersikap tenang (*cool banget) dan menghindari perdebatan, justru orang-orang yang
pas-pasan ilmunya lah yang sering cerewet dan sering berdebat tentang hal-hal
sepele sekalipun.Intinya orang berilmu tahu cara menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar (kta seorang
kakak calon dokter muda spesialis bedah,hehehe).
Trus yang kedua adalah Ikhlas, ternyata ilmu saja tidak cukup agar kita terhindar dari
sikap pembenaran, betapa banyak
orang yang tinggi ilmunya dan faqih justru tidak mau mengakui kebenaran dan
senantiasa melakukan pembenaran, permisalan
terkenal adalah Abu Jahal yang tahu dan mengakui dakwah Nabi saw itu benar,
namun dia tidak Ikhlas untuk
mengikuti dakwah Nabi saw, contoh populer lain adalah Hitler yang terkenal
jenius dan tinggi ilmunya, tapi karena hatinya tidak ikhlas mengakui kehebatan
bangsa lain akhirnya dia dengan kejam membunuh bangsa selain bangsa Arya, dan
masih banyak permisalan lain yang merefleksi betapa banyak orang yang berilmu,
tetapi tidak disertai dengan hati yang ikhlas mereka menjadi mengingkari
kebenaran dan justru memperjuangkan pembenaran.Disebabkan
gengsi karena orang yang menyampaikan kebenaran itu dianggapnya lebih muda,
lebih miskin, lebih jelek, lebih rendah kedudukannya daripada dirinya sehingga
dia menyangsikan kebenaran tersebut, meskipun dia tahu bahwa itu benar.
Antara ilmu dan ikhlas pada dasarnya
adalah berbicara mengenai akal dan qalbu… ketika akal dan qalbu itu seimbang,
maka kebenaran pun akan mudah diterima oleh setiap individu,,, itu akan
sempurna ketika kita memiliki keimanan sebagai perekat sayap ilmu dan ikhlas.
Apakah Anda masih menganggap
Kebenaran itu relatif (*subjektif)??? Di sini penulis tegaskan bahwa dari awal
kita telah mengupas bahwa secara fitrah kebenaran itu bermakna sesuatu yang Absolut dan Konstan serta sifatnya Objektif,..
tetapi mengapa banyak anggapan bahwa kebenaran itu relatif? Jawabannya adalah
tidak lain karena kita salah dalam mengambil titik acuan kita dalam memandang
kebenaran itu sendiri, mungkin kita masih belum tahu acuannya apa atau bahkan
terlalu banyak acuan sehingga membingungkan diri sendiri.
Sebagai muslim sekaligus orang yang
beriman, Allah swt telah memberikan acuan kebenaran dalam hidup kita baik di
dunia maupun kelak ketika dibangkitkan dari kematian,, acuan itu tidak lain
tidak bukan adalah kitab suci Alquran, kitab
suci yang di dalamnya berisi pedoman kita dalam kehidupan, baik itu sifatnya
Hablun minallah maupun Hamblun minannaas… di dalamnya sangat jelas bagaimana
kehidupan itu seharusnya terjadi, mulai dari hal terkecil seperti cara makan,
minum, sampai hal terbesar seperti akidah, sistem pemerintahan, dsb. Selain
Alquran, ternyata kita diberi juga pedoman lain yaitu As Sunnah/ Hadist yang berfungsi sebagai penjelas dan penguat Alquran…
Sehingga penulis ingat lagi-lagi perkataan salah seorang calon dokter bedah muda,
bahwa hidup orang mukmin sejati itu sebetulnya membosankan karena mereka cuma
hidup dengan berpedoman apa yang disyariatkan Allah swt dan RasulNya kemudian
meninggal dalam keadaan tenang dan akhirnya masuk surga,.. So simple..:) Lalu masih kah kita tidak
berislam secara kaffah/menyeluruh, hanya mengamalkan sebagian saja dan
mengingkari yang lain karena nafsu??? Shalat sih iya, ngaji iya… tapi ketika disuruh
berkerudung menutup aurat ogah…!!!
Marilah kita simpulkan bahwa sebagai
muslim kita wajib menyampaikan dan mempertahankan kebenaran karena kebenaran
yang kita pegang adalah berasal dari Alquran
dan AsSunnah yang datangnya dari Rabbul alamin, Allah swt… Allah swt
mewajibkan setiap muslim menjadi dai, ber-amar maruf nahi munkar… Justru ketika
kita diam, kita dianggap Rasul saw sebagai Setan
bisu! Namun, dalam menyampaikan kebenaran, hendaknya kita menghindari
sikap-sikap yang mengarah pada pembenaran,
sehingga dengan mudahnya kita memvonis saudara sendiri sebagai ahli bidah,
kafir, dsb, untuk itulah dalam berdakwah diperlukan etika, sopan santun, tahu
situasi kondisi, bijak, dan cerdas. Yang semua itu terpenuhi ketika kita
memiliki Ilmu dan Ikhlas yang disertai dengan iman dalam menyampaikan dan
mempertahankan kebenaran. So, karena menyampaikan Kebenaran itu wajib, maka memperdalam ilmu dan memperbaiki
keikhlasan itu juga wajib hukumnya….
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu
jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
(Q.S. Albaqarah: 147)
Di akhir tulisan ini penulis
ingin mengatakan bahwa sesungguhnya dalam catatan ini masih sangat banyak
unsur-unsur pembenaran, minimal dalam konteks pembenaran atas pendapat pribadi
penulis tentang suatu Kebenaran… Sehingga sangat bijak ketika orang-orang yang
di tag ataupun tidak dalam catatan in,i tidak hanya sekedar me-like, tapi juga
bersedia memberi komentar, pendapat, saran, kritikan, atau apa saja agar tidak
terkesan Anda juga melakukan suatu pembenaran atas pembenaran yang penulis
lakukan (*paham kan maksudnya?) , marilah kita sama-sama saling menasihati
dalam kebenaran dan pastinya dalam kesabaran jauh dari unsur emosional…
NB:
*Untuk kakak ZN,
terima kasih telah memberikan inspirasi dan pemikiran pribadi selama ini serta tentang bagaimana menyikapi kebenaran orang
lain di atas kebenaran kita,, bimbinglah selalu adik tingkatmu ini dan dimohon
jawabannya atas kegalauan hati tentang konsep “Eksklusif” dan “Inklusif”
kemarin, Mari Bergerak.. suatu Frase
yang membakar jiwa ini.;)
*Untuk sahabat ku R,
terima kasih banyak telah banyak mengajarkan ku tentang makna persahabatan, aku
terkesan dengan prinsip itu,“catatan ini ku peruntukkan agar kamu bisa memaknainya
dengan diskusi hangat khas diriumu, hehehe”
*Untuk seseorang
yang berinisial M, bersabarlah dan bangkitlah dari sikap otoriter ortu mu yang
selalu melakukan pembenaran atas tindakan mereka yang menekan hidup dan masa
depanmu, semoga tulisan ini mewakili permintaan mu padaku dulu, percayalah
suatu saat nanti kamu atupun aku akan bebas menentukan masa depan…
*Dan untuk semua
sahabat-sahabat seperjuanganku.., dakwah kita hampir berhasil mencapai
kemenangan, tetap istiqomah pada perjuangan kita, janji Allah pasti terbukti..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar